Leiden University logo.

nl en

Hakim Ningrat Penebar Manfaat: Kisah hidup R. M. Soeripto

Di dalam struktur pemerintahan Jawa, seorang abdi raja pastilah memiliki status dwitunggal. Di satu sisi, para punggawa mengabdi kepada penguasa. Di sisi lain, mereka adalah hakim yang patuh kepada hukum yang berlaku. Menurut Soemarsaid Moertono dalam Negara dan Kekuasaan di Jawa (2017), sarjana Indonesia yang mengungkap peran dwitunggal dari pegawai raja itu bernama R. M. Soeripto, seorang ahli hukum adat alumnus Universitas Leiden, Belanda.

Lebih dari sekadar teori di atas kertas, "dwitunggal pegawai-hakim" sesungguhnya dapat ditemukan di diri Prof. Mr. Dr. R. M. Soeripto. Sarjana hukum kelahiran Ampel, Boyolali pada 25 Maret 1889 ini mengawali kariernya sebagai pegawai Department van Binnenlands Bestuur (Departemen Dalam Negeri) urusan agraria dan desentralisasi. Meskipun begitu, ia kemudian lebih dikenal sebagai seorang hakim di pengadilan negeri Surabaya. Di puncak karier hukumnya, ia membidani kelahiran salah satu sekolah hukum yang termasyhur di Indonesia: Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya.

Jurist Berdarah Biru

Ontwikkelingsgang der Vorstenlandsche Wetboeken (Perkembangan Kita-Kitab Hukum di Wilayah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta) adalah topik disertasi Soeripto di Universitas Leiden dengan tema yang tidak asing baginya. Sebab, seperti terlihat dari gelarnya, Soeripto adalah seorang aristrokat Jawa. Di dalam dirinya mengalir darah biru dari Kasunanan Surakarta. Meskipun mewarisi trah Surakarta, Soeripto mengenyam pendidikan dasar (E. L. S., Europeesche Lagere School) hingga menengah atas (A. M. S., Algemene Midderlbare School) di Yogyakarta sejak tahun 1915 hingga 1923.

Selepas tamat A. M. S. inilah Soeripto berlayar ke negeri Belanda untuk mengenyam pendidikan di Rijksuniversiteit Leiden. Di awal abad ke-20, Universitas Leiden telah menjadi tujuan studi bagi anak-anak elite bumiputera di Hindia Belanda. Bahkan, hampir satu dekade sebelum Soeripto memulai studinya, tepatnya pada tahun 1913, Raden Hoesein Djajadiningrat sudah mendapatkan kehormatan sebagai orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor. Sebagaimana Soeripto, Raden Hoesein memilih topik disertasi yang tak "jauh" darinya, yaitu Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Kajian Kritis atas Sejarah Banten) di bawah bimbingan Snouck Hurgronje.

Meskipun dikenal sebagai seorang jurist, Soeripto sesungguhnya terdaftar pada jurusan Indologi. Jurusan yang menampung banyak mahasiswa Indonesia ini memang mengkaji banyak aspek dari koloni timur: mulai dari sejarah, bahasa-sastra, geografi, hingga hukum adat. Sudah tentu perhatian Soeripto banyak dicurahkan pada aspek hukum, namun pengetahuannya di bidang lain tak kalah mumpuni. Priyayi Jawa pada umumnya memang mendapatkan pendidikan dasar yang layak tapi tak semua yang berkuliah di Belanda memiliki kecemerlangan seperti Soeripto.

Pada 16 Desember 1927, Algemeene Handelsblad mewartakan kelulusan Soeripto dari ujian doktoral. Di tahap ini, Soeripto nampaknya belum melaksanakan promosi doktoral sebab pengumuman di surat kabar ini sama sekali tak memuat judul disertasinya. Namun, artikel ini menggarisbawahi status Soeripto sebagai anggota keluarga Kasunanan Surakarta pertama yang mendapatkan gelar dari Leiden.

Kemudian, menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah (2014) Soeripto baru menempuh sidang promosi doktoral pada bulan Mei 1929. Seperti ujian pendahuluan yang dilaksanakan pada tahun 1927, promosi Soeripto juga mendapatkan perhatian media massa. De Locomotief tertanggal 10 Juni 1929 memuat sebuah artikel bertajuk Vorstenlandsche Dissertatie (Disertasi tentang Kerajan Yogyakarta dan Surakarta) yang mengabarkan keberhasilan Soeripto dalam mendapatkan gelar doktor setelah merampungkan disertasinya.

Perkembangan Kitab-Kitab Hukum di Yogyakarta dan Surakarta

Perhatian Soeripto kepada persoalan hukum di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (selanjutnya akan ditulis Yogyakarta dan Surakarta) tidak hanya bersumber dari kedekatan personalnya dengan kedua kerajaan tersebut. Pembimbingnya di Universitas Leiden, Cornelis van Vollenhoven, sang bapak hukum adat, juga menularkan begitu banyak kekaguman atas hukum adat kepada Soeripto. Hampir semua pendiri bangsa yang menggeluti studi hukum di Leiden pada awal abad kedua puluh termasuk Profesor Soepomo, menuntut ilmu di bawah bimbingan Profesor Van Vollenhoven.

Di artikelnya berjudul "Adat, adatrecht, inlands recht" dalam Het Adatsrecht van Nederlands-indïe (1918), Van Vollenhoven mengungkapkan dengan mantap salah satu karakteristik hukum adat di Indonesia. Ia menulis bahwa alih-alih salling menggantikan, hukum terkodifikasi dan yang tidak terkodifikasi diterapkan secara berdampingan. Pernyataan inilah yang kemudian diamini oleh disertasi Soeripto.

Soeripto menarasikan teorinya tentang "dwitunggal pegawai-hakim" yang ia temui di kitab-kitab yang ia pelajari. Soeripto menulis:

"Sebagai contoh dari pegawai dengan fungsi yang dwitunggal ini adalah para Boepati Goenoeng, Panewoe Goenoeng, kepala desa, dan para djaksa." 

Terkait status khusus ini, Soeripto tidak hanya menempatkannya sebagai praktik yang lumrah di Jawa. Lebih dari itu, Soeripto melabeli praktik ini sebagai De Indonesische Tweeëenheid Bestuurder-Rechter (Dwitunggal pegawai-hakim khas Indonesia).

Nasionalis di Dalam dan Luar Negeri

Selepas menamatkan pendidikan di Belanda, R. M. Soeripto kembali ke tanah airnya dan setia mengkhidmatkan dirinya sebagai pegawai pemerintah lintas penguasa. Sejak tahun 1927, sebagai contoh, R. M. Soeripto telah terdaftar sebagai pegawai pada Departemen Dalam Negeri (Binnenlands Bestuur) di bawah pemerintah kolonial Belanda. Jabatan yang ia emban hingga tahun 1932 ini membidangi urusan agraria dan desentralisasi. Baru pada awal dekade 1930-an tersebut R. M. Soeripto diangkat sebagai hakim: jabatan yang ia emban di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintah pendudukan Jepang, hingga Indonesia merdeka.

Walau dirinya bekerja untuk pemerintah kolonial dan pemenrintah pendudukan Jepang, R. M. Soeripto adalah seorang nasionalis yang eksplisit, betapapun berbeda sikap dari tokoh nasionalis lain seperti Muhammah Hatta. Sejak di Belanda, ia tergabung dalam organisasi Nederlandsch-Indonesisch Verbond (NIV), satu perhimpunan pemuda Indonesia di Belanda yang memisahkan diri dari Perhimpunan Indonesia (PI) karena perbedaan sikap politik. Menurut Poeze, dibandingkan PI, NIV memang sangat berhati-hati dalam membicarakan masa depan Indonesia dan Belanda.

Betapapun kontroversial di kalangan revolusioner, Soeripto berpandangan bahwa siapa pun, termasuk orang Belanda, memiliki hak untuk berjuang bagi masa depan Indonesia. Sikap ini secara tersurat ia tuliskan pada halaman persembahan disertasinya. Pada halaman tersebut, Soeripto menulis bahwa disertasi ini ia persembahkan bagi aan de strijders voor en de vrienden van de Indonesiers (para pejuang dan teman-teman orang Indonesia).

Di tanah air, Soeripto tercatat pernah aktif sebagai fungsionaris Partai Nasional Indonesia (PNI) di wilayah Surakarta dan Surabaya. Di Surakarta, ia pernah menjabat sebagai ketua dewan pimpinan daerah, sementara di Surabaya ia duduk sebagai wakil ketua dewan pimpinan daerah. Selain pada partai politik, R. M. Soeripto juga aktif di organisasi perburuhan, terutama yang menaungi buruh sektor kehakiman.

Turut Mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Surabaya

Setelah berprofesi sebagai hakim, R. M. Soeripto berbuat banyak hal yang begitu bermanfaat bagi kalangan di sekitarnya, terutama masyarakat Surabaya. Salah satu peninggalannya adalah Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Surabaya, cikal-bakal Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang masih eksis hingga hari ini.

Pada periode pembentukan sekolah itu yang terjadi pada awal tahun 1950-an, Soeripto merupakan anggota dari Panitia Penyelenggara, yang antara lain bertugas membentuk sebuah yayasan untuk menaungi Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Surabaya.

Setelah panitia tersebut menyelesaikan tugasnya, Prof. Soeripto diamanahi tanggung jawab baru sebagai anggota dalam Dewan Dosen. Tentu saja mengajar juga menjadi tanggung jawabnya. Namun alih-alih mengajar mata kuliah hukum, Prof. Soeripto justru dipasrahkan tugas untuk mengampu mata ajar Sosiologi. Hal ini tak dapat dipisahkan dari latar belakang pendidikan Indologi yang dimiliki oleh Soeripto ketika berkuliah di Universitas Leiden. Seperti telah disinggung sebelumnya, jurusan Indologi mempelajari Indonesia secara multidisiplin dengan penekanan khusus pada pendekatan sosio-humaniora.

Pada tahun 1954, Perguruan TInggi Ilmu Hukum Surabaya berubah status menjadi sebuah fakultas di bawah Universitas Airlangga.

Sebagai seorang hakim lulusan Universitas Leiden, Soeripto juga berperan besar dalam merancang Kota Surabaya.

Sang Penebar Manfaat

Meskipun berkarier sebagai seorang hakim, Soeripto bukanlah sosok yang kaku. Kepeduliannya kepada masyarakat dan kegemarannya berorganisasi secara konsisten ia tunjukkan di luar pengadilan. Selain sebagai sarjana hukum, ia setidaknya dikenal karena kegemarannya menari, mengembangkan taman-taman kota, dan berburu.

Sejak masa kuliahnya di Belanda, Soeripto sudah dikenal sebagai seorang penari Jawa yang begitu luwes. Darah biru yang ia miliki tak hanya nampak pada gelar yang ia sandang tetapi juga pada kemampuannya mementaskan tari-tarian klasik Jawa.

Kemudian, di penghujung studinya pada tahun 1927, R. M. Soeripto tampil di Internationalen Musikausstellung (Festival Musik Dunia) di Frankfurt bersama serombongan penari dan penabuh gamelan Jawa yang bermukim di Belanda.

Selain duduk di belakang meja hijau, Soeripto ternyata juga turut andil dalam penghijauan kota Surabaya. Menurut De Vrije Pers, ia pernah terpilih secara aklamasi sebagai ketua Asosiasi Taman Surabaya. Menurut Soeripto, asosiasinya dan pemerintah kota harus memiliki relasi yang kuat sehingga tercapai cita-cita warga Surabaya untuk memiliki taman hiburan rakyat sekelas Prinsenpark di Jakarta atau Taman Sriwedari di Solo.

Pada tahun 1954, Soeripto terpilih untuk duduk di DPRD Sementara Kota Surabaya. Pada posisi ini ia terlibat dalam lebih banyak kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kota. Hakim kelahiran Boyolali ini terpilih sebagai ketua himpunan kebun binatang dan ketua PORPI (Persatuan Olahraga Perburuan Indonesia). Ketika menjabat, ia mempertemuan kedua organisasi yang ia pimpin dalam wujud sebuah museum perburuan di dalam Kebun Binatang Surabaya (De Vrije Pers, 7-8-1954).

Dalam kapasitasnya sebagai seorang sarjana sekaligus anggota parlemen, Soeripto juga pernah ditunjuk sebagai anggota dari komisi yang ditugaskan untuk merancang logo kota Surabaya. Hasil studi dari komisi yang dipimpin Soeripto ini memasukkan tiga elemen yang dapat ditemukan pada logo Kota Surabaya hingga hari ini: Ikan Sura, Buaya, dan Tugu Pahlawan.

Tokoh Multiperan

Tidak seperti teori yang dicantumkan dalam disertasinya, R. M. Soeripto ternyata menjalankan lebih dari dua peran semasa hidupnya. Ia terbukti tak pernah tanggung-tanggung dalam membaktikan dirinya untuk masyarakat, sejak muda hingga mencapai karir puncaknya sebagai anggota Konstituante yang dibentuk pada tahun 1955 hanya untuk dibubarkan empat tahun kemudian.

Meskipun ia telah mangkat, peninggalannya dalam berbagai bentuk dapat dilihat di penjuru Kota Surabaya. Lebih dari taman dan logo kota, intelektual jebolan Universitas Leiden ini juga mengabadikan pikirannya dalam berbagai buku, antara lain: Hukum Adat dan Pancasila dalam Pembinaan Hukum Nasional (1962) dan Hukum Adat dan Pancasila dalam Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (1967).

Tentu, monumen ilmu pengetahuan paling penting yang ia wariskan adalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang hingga hari ini masih aktif mendidik intelektual-intelektual muda di bidang hukum.

 

Penulis: Satrio Dwicahyo (Sejarahwan Universitas Gadjah Mada & alumnus Universitas Leiden)

 

Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan di situs berita Tirto.id.

This website uses cookies.